rss

Rabu, 29 Juli 2009

Allah dan Tuhan

oleh : Muhsin Labib

Eksistensi Tuhan adalah salah satu masalah paling fundamental manusia, karena penerimaan maupun penolakan terhadapnya memberikan konsekuensi yang fundamental pula. Alam luas yang diasumsikan sebagai produk sebuah Kekuatan Yang Maha Sempurna dan Maha Bijaksana dengan tujuan yang sempurna berbeda dengan alam yang diasumsikan sebagai akibat dari kebetulan atau insiden. Manusia yang memandang alam sebagai hasil penciptaan Tuhan Yang Maha Bijaksana adalah manusia yang optimis dan bertujuan. Sedangkan manusia yang memandang alam sebagai akibat dari serangkaian peristiwa acak (chaos) adalah manusia yang pesimis, nihilis, absurd, dan risau akan kemungkinan-kemungkinan yang tak dapat diprediksi.

Umat manusia sejak awal kehadirannya di atas pentas sejarah telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada kausa prima alam keberadaan. Orang Persia menyebutnya Yazdan atau Khoda. Orang Inggris menyebutnya Lord atau God. Kita menyebutnya Tuhan atau Sang Hyang. Dialah Tuhan Yang Maha Sempurna. Kepercayaan pada “yang adikodrati,” merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, baik terbentuk dalam sebuah lembaga transendental yang disebut “agama” maupun tidak diagamakan. Kendati demikian, konsep dan keyakinan tentang Tuhan telah berkembang dan terpecah dalam beberapa aliran ketuhanan.

Tuhan sejak babak pertama peradaban sampai sekarang telah menjadi objek pengimanan dan penolakan. Manusia, sebelum dibagi dalam kelompok agama, bahkan sebelum dibagi dalam kelompok monoteis dan politeis, telah terbagi dalam dua aliran besar, ateisme dan teisme. Istilah ini berasal dari kata Yunani atheos (tanpa Tuhan), dari a (tidak) dan Theos (Tuhan). Ia adalah aliran yang menolak adanya Tuhan Pencipta alam semesta. Dalam bahasa Arab disebut al-Ilhad.

Kata yang memberikan signifikansi Wujud Pencipta dalam al-Quran sangat banyak. Semuanya dapat dibagi dalam beberapa dimensi dan konteks.

Pertama, kata yang menunjuk Tuhan dipergunakan sebagai nama umum atau atribut universal.

Kedua, kata yang menunjuk Tuhan digunakan dalam dua bentuk sekaligus, universal dan personal.
Ketiga, kata yang menunjuk Tuhan digunakan sebagai nama umum semata.

Keempat, kata yang mengandung arti kesempurnaan dan kebaikan (Asmaul Husna). Kata “Tuhan,” misalnya, yang bila digunakan sebagai nama umum, maka huruf “t” di depannya dikecilkan (tuhan), dan bila digunakan untuk menunjuk nama khusus, maka huruf “t” di depannya dibesarkan (Tuhan). Demikian pula “God” dalam bahasa Inggris atau “Khoda” dalam bahasa Parsi. Karena itu, bila ada yang mengartikan la ilaha illallah dengan “tiada tuhan selain Tuhan” bisa ditolerir.

Kelima, kata yang menunjuk “Tuhan” digunakan sebagai nama personal (alam syakhshi) semata. Dalam bahasa Arab, kata “Allah” sebagai lafzhul jalalah (nama kebesaran) dipergunakan dan ditetapkan sebagai nama personal (alam syakhshi). Sedangkan ar-Rahman ditetapkan sebagai predikat khusus. Selain dari kata Allah (yang merupakan nama khusus) dan kata ar-Rahman (yang merupakan sifat khusus), tidak bersifat khusus.1 Itulah sebabnya, mengapa kata “rabb,” “ilah,” “khalik” digunakan untuk selain Allah, bahkan “ra’uf” dan “rahim” digunakan untuk Nabi saw, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu. Sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Amat belas kasihan, lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin.” (QS. at-Taubah [9]: 128).

Atas dasar itu, kata “Allah,” baik berupa kata baku (jamid) atau pun kata olahan (musytaq), ditetapkan sebagai sebuah “nama personal,” dan ia tidak mempunyai arti selain Zat Yang Adikodrati Swt. Namun, tatkala Zat Kudus tersebut tidak dapat diinderakan, maka untuk mengenali arti “Allah,” mereka menggunakan sebuah simbol yang berkonotasi secara eksklusif pada Allah seperti “Zat Yang Menghimpun sifat-sifat kesempurnaan,” bukan berarti kata “Allah” ditetapkan untuk mengartikan rangkaian pengertian-pengertian ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa pembahasan seputar materi dan bentuk kata ini tidak akan dapat membantu kita untuk memahami artinya sebagai sebuah nama personal (alam syakhshi).

Kata personal “Allah” karena oleh sebagian besar mufasir dianggap sebagai ism ma’rifah dengan alif dan lam (kata tertentu), menurut kaidah kesusasteraan, kurang tepat dikaitkan dengan sebutan panggilan “ya.” Karena itulah, bisa dipastikan kalimat “Ya Allah” (Wahai Allah) tidak terdapat dalam al-Quran.2 Kata “Ya” diganti dengan huruf mim yang di-syaddah-kan dan di-fathah-kan pada bagian akhir kata Allah, maka jadilah “Allahumma.” Kata panggilan khas ini ditemukan satu kali dalam surah Ali Imran ayat 26, satu kali dalam surah al-Maidah ayat 114, satu kali dalam surah al-Anfal ayat 32, satu kali dalam surah Yunus ayat 10, dan satu kali dalam surah az-Zumar ayat 46.3

Namun kata “Allah” menurut sebagian ulama bukanlah bentuk ma’rifah dari kata ilah. Kata ini dianggap berasal dari bahasa Ibrani yang diadaptasi ke dalam bahasa Arab. Kata ini menurut mereka juga yang berarti Zat Tuhan Yang Mahaesa. Oleh karena itu, dalam Agama Ortodoks Suriah, bahkan sekte-sekte Kristen lainnya, diyakini sebagai kata atau nama personal Tuhan Bapa.4

Dalam kitab suci al-Quran, kata yang juga memberikan signifikansi pada Allah adalah “ilah” dan “rabb.” Kata “ilah” juga digunakan dalam syahadat, la ilaha illallah. Kata “ilah” adalah bentuk kata yang mengikuti wazan “fi’al” yang berarti “maf’ul.” Ilah berarti “ma’bud” (yang disembah), seperti “kitab” yang berarti “maktub” (yang ditulis). Dengan demikian, la ilaha illallah dapat diartikan “tiada yang layak disembah selain Allah.”5

Kata “Tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan” yang berarti “majikan” atau “pemilik,” seperti tuan rumah yang berarti pemilik rumah,6 atau kata “Hyang” yang memiliki arti berdekatan dengan “eyang’ yang berarti kakek atau nenek. Hanya saja, yang perlu diperjelas, apakah “Tuhan” menunjuk “Sang Pencipta” (Khalik) ataukah menunjuk “Yang disembah” (al-ilah, al-ma’bud). Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang lebih dekat dengan “ar-rab” dalam bahasa Arab yang berarti “Maha Pengatur.” Seandainya “Tuhan” atau “Ilah” berarti “Pencipta” (Khalik), maka syahadat la ilaha illallah berarti “tiada pencipta selain Allah.” Tentu syahadat dengan arti seperti ini tidak mengecualikan seluruh kaum Quraisy penyembah berhala dan kaum musyrik lainnya, yang sejak semula meyakini Allah sebagai Pencipta. (QS. Lukman: 25)

Dalam al-Quran, kata “Allah” disebutkan sebanyak 930 kali7 sedangkan kata “ilah” (tanpa dhamir) disebutkan sebanyak 80 kali.8

Arti “ilah” dalam rangkaian syahadat (kalimah at-tahlil) bisa berarti “al-ma’bud” atau yang disembah, dan bisa pula berarti al-ma’bud bil haq.9 Apabila arti pertama dipilih, maka setiap sesuatu yang dalam kenyataan disembah selain Allah dapat dianggap sebagai ilah. Apabila arti kedua yang dipilih, maka berarti ilah hanya bisa disandang oleh Allah, sebab al-ma’budiyah (ke-tersembah-an) merupakan derivasi dari ar-rububiyah.

Kata “rabb” dalam al-Quran disebutkan sebanyak 84 kali. Satu dalam surah al-Fatihah, satu dalam surah al-Baqarah, satu dalam surah al-Maidah, empat dalam surah al-An’am, enam dalam surah al-A’raf, satu dalam surah at-Taubah, dua dalam surah Yunus, satu dalam surah ar-Ra’d, satu dalam surah al-Isra, satu dalam surah al-Kahfi, satu dalam surah Maryam, satu dalam surah Thaha, dua dalam surah al-Anbiya, tiga dalam surah al-Mukminun, lima belas dalam surah asy-Syu’ara, empat dalam surah an-Naml, satu dalam surah al-Qashash, satu dalam surah as-Sajdah, satu dalam surah Saba, satu dalam surah Yasin, enam dalam surah ash-Shaffat, satu dalam surah Shad, satu dalam surah az-Zumar, tiga dalam surah Ghafir, satu dalam surah Fushshilat, tiga dalam surah az-Zukhruf, dua dalam surah ad-Dukhan, tiga dalam surah al-Jatsyiyah, satu dalam surah adz-Dzariyat, satu dalam surah an-Najm, dua dalam surah ar-Rahman, satu dalam surah al-Waqi’ah, satu dalam surah al-Hasyr, satu dalam surah al-Haqqah, satu dalam surah al-Ma’arij, satu dalam surah al-Muzzammil, satu dalam surah an-Naba, satu dalam surah at-Takwir, satu dalam surah al-Muthaffifin, satu dalam surah al-Quraisy, satu dalam surah al-Falaq, dan satu dalam surah an-Nas.10

Selain berupa kata personal Allah, ilah, dan rabb, Tuhan juga merupakan entitas penghimpun semua nama-nama terbaik (Asmaul Husna). Kata Asmaul Husna disebutkan empat kali dalam al-Quran, satu dalam surah al-A’raf ayat 180, satu dalam surah al-Isra ayat 110, satu dalam surah Thaha ayat 8, dan satu dalam surah al-Hasyr ayat 24.11 Dengan demikian, nama dan sifat yang memberikan signifikansi kebaikan dan kesempurnaan maksimum adalah milik Allah. Karenanya, nama dan sifat manusia berasal dari Allah sebagai Pemilik Absolut nama-nama terbaik. Dalam sebuah hadis, Nabi saw memerintahkan kita untuk berakhlak dengan akhlak Allah. Dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang menekankan tentang posesi atau kepemilikan Tuhan atas semua nama terbaik. (QS. al-Hadid [57]: 4; QS. al-A’raf [7]: 180; QS. Thaha [20]: 8; QS. al-Isra [17]: 110; dan QS. al-Hasyr [59]: 24)
الله لااله الاهو, له الاسماء الحسنى
.ولله الاسماء الحسنى فادعوه بها

Menurut sebagian mufasir mutakhir, tidak ada dalil qath’i (definitif) tentang ketentuan jumlah Asmaul Husna, meskipun yang populer dalam riwayat disebutkan berjumlah 99.12 Setiap nama (ism) dalam alam keberadaan adalah sebaik-baik nama (Ahsanul Asma). Semuanya adalah milik Allah Swt. Karena itulah, jumlah nama Allah tidaklah terbatas.13

Dengan nama-nama terbaik yang banyak dan mencakup spektrum dimensi dan nilai kesempurnaan maksimal itulah, hamba-hamba-Nya berpeluang untuk berkomunikasi dengan Allah. Seorang yang papa dan dirundung kemiskinan dapat memanggil-Nya dengan nama al-Karim, ar-Raziq, dan ar-Razzaq. Seseorang yang bergelimang dosa dapat memohon ampunan-Nya dengan memanggil-Nya “al-Ghaffar.” Seseorang yang ingin mendapatkan petunjuk dapat menyeru-Nya dengan nama al-Hadi dan sebagainya.

Yang patut diketahui ialah bahwa kata asma juga dapat diartikan sebagai sifat-sifat, karena ism dalam Ilmu Sharf mencakup ismul fa’il dan ash-shifat al-musyabbahah. Menurut Allamah Thabathaba’i, Asmaul Husna adalah setiap kata yang menunjukkan arti predikatif seperti ilah, al-hayy, dan lainnya. Sedangkan kata “Allah,” adalah alam syakhshi (nama personal) atau alam adz-dzat, yang merupakan nama personal bagi Tuhan.14

Kata ism yang dikaitkan (diidhafahkan) dengan Allah dan Rabb, berjumlah 18 kali, yaitu empat dalam surah al-An’am, satu dalam surah al-Maidah, lima dalam surah al-Hajj, satu dalam surah ar-Rahman, dua dalam surah al-Waqi’ah, satu dalam surah al-Haqqah, satu dalam surah al-Muzzammil, satu dalam surah al-Insan, satu dalam surah Hud, dan satu dalam surah al-Naml. Jika Bismillâhirrahmânirrahîm dianggap sebagai pembuka dan bagian dari setiap surah, kecuali surah al-Bara’ah, maka jumlah keseluruhan ism yang kaitkan pada Allah dan Rabb berjumlah 131.15

Ismul A’zham (nama kebesaran), menurut opini masyarakat Arab, adalah ismul lafzhi yang merupakan salah satu dari asma Allah, yang bila diseru dalam doa, maka dikabulkan. Namun, anehnya, ia tidak tergolong dalam Asmaul Husna yang populer, dan tidak pula dianggap sebagai bagian dari lafzhul jalalah. Menurut mereka, Ismul A’zham terdiri atas huruf-huruf tak dikenal (huruf majhulah) dengan komposisi yang tak dikenal pula. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa kata Allah dalam basmalah itulah yang dimaksud dengan Ismul A’zham.16

Asma Allah atau Asmaul Husna kadangkala dikaitkan dengan sifat-sifat Allah (shifatullah). Menurut Sayid Quthub, firman Allah itu mengandung makna bahwa manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan Tuhan mereka sekehendak mereka sesuai dengan nama-nama-Nya yang paling baik (Asmaul Husna). Firman itu juga merupakan sanggahan terhadap kaum Jahiliyah yang mengingkari nama “ar-Rahman,” selain nama “Allah.”17

Berkenaan dengan alasan turunnya firman itu, tafsir-tafsir klasik menuturkan adanya hadis dari Ibnu Abbas, bahwa di suatu malam Nabi saw beribadah, dan dalam bersujud beliau mengucapkan, “Ya Allah, Ya Rahman.” Ketika Abu Jahal, tokoh musyrik Mekah yang sangat memusuhi kaum beriman, mendengar tentang ucapan Nabi saw dalam sujudnya itu, ia berkata, “Dia (Muhammad) melarang kita menyembah dua tuhan, dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain lagi.” Ada juga penuturan bahwa ayat itu turun kepada Nabi saw karena kaum Ahlulkitab pernah mengatakan kepada beliau, ‘Engkau (Muhammad) jarang menyebut nama ar-Rahman, padahal Allah banyak menggunakan nama itu dalam Taurat.’”18

Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa kedua nama itu sama saja, dan keduanya menunjuk kepada Hakikat, Zat atau Wujud yang satu dan sama. Zamakhsyari, Baidhawi dan Nasafi menegaskan bahwa kata ganti nama “Dia” dalam kalimat “maka bagi Dia adalah nama-nama yang terbaik” dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama “Allah” atau “ar-Rahman,” melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Zat (Esensi) Wujud Yang Mahamutlak itu sendiri. Sebab, suatu nama tidaklah diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu zat atau esensi. Jadi, Zat Yang Mahaesa itulah yang bernama “Allah” dan atau “ar-Rahman” serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya “Allah” bernama “ar-Rahman” atau “ar-Rahim.”

Jadi yang bersifat Mahaesa itu bukanlah nama-Nya, melainkan Zat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena itu, Baidhawi menegaskan bahwa paham Tauhid bukanlah ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi. Maka Tauhid yang benar ialah “Tawhid adz-Dzat” bukan “Tawhid al-Ism” (Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama).19

Pandangan ketuhanan yang sangat mendasar ini diterangkan dengan jelas sekali oleh Imam Ja’far Shadiq as, guru dari para imam dan tokoh keagamaan besar dalam Sejarah Islam, baik untuk kalangan Ahlusunah maupun Syiah. Dalam sebuah penuturan, ia menjelaskan nama “Allah” dan bagaimana menyembah-Nya secara benar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam, “Allah” (kadang-kadang dieja, “Al-lah”) berasal “ilah” dan “ilah” mengandung makna “ma’luh,” (yang disembah), dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai (al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna tanpa nama maka itulah Tauhid. Engkau mengerti, wahai Hisyam?” Hisyam mengatakan lagi, “Tambahilah aku ilmu.” Imam Ja’far Shadiq as menyambung, “Bagi Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung, ada sembilan puluh sembilan nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu tuhan. Tetapi Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung adalah suatu Makna (Esensi) yang dirujuk oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah sama dengan Dia…”20

Kalau kita harus menyembah Makna atau Esensi, dan bukan menyembah Nama seperti yang diperingatkan dengan keras sebagai suatu bentuk kemusyrikan oleh Imam Ja’far Shadiq as itu, berarti kita harus menunjukkan penyembahan kita kepada Dia yang menurut al-Quran memang tidak tergambarkan, dan tidak sebanding dengan apa pun. Berkenaan dengan ini, Imam Ali bin Abi Thalib ra mewariskan penjelasan yang amat berharga kepada kita, dia mengatakan, “Allah” artinya “Yang Disembah” (al-Ma’bud), yang mengenai Dia itu makhluk merasa tercekam (ya’lahu) dan dicekam (yu’lahu) oleh-Nya. Allah adalah Wujud dan tertutup dari kemampuan penglihatan, dan yang terdinding dari dugaan dan benih pikiran.21

Dan Imam Muhammad Baqir ra menjelaskan, “Allah” maknanya “Yang Disembah” yang agar makhluk (aliha, tidak mampu atau bingung) mengetahui Esensi-Nya (Mahiyah) dan memahami Kualitas-Nya (Kaifiyah). Orang Arab mengatakan, ‘Seseorang tercekam (aliha) jika ia merasa bingung (tahayyara) atas sesuatu yang tidak dapat dipahaminya, dan orang itu terpukau (walaha) jika ia merasa takut (fazi’a) kepada sesuatu yang ia takuti atau khawatirkan.’”[]

Catatan Kaki:

1. M. Fuad Abdul-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Quran, hal. 62-63, Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1991.

2. Dalam kaidah gramatika Arab, tidak dibenarkan seseorang memanggil dengan Ya al-‘Alim, misalnya, dengan tidak membuang alif dan lam.

3. Op.Cit., Muhammad Fuad Abdul-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras, hal.96, Istanbul.

4. Summa Theologica, Ia, q. 2, a.l. Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, hal. 141, Pustaka Filsafat.

5. M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif al-Quran, vol.1, hal.26, Jami’ah Mudarrisin, Qom, 1987.

6. Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 963, Balai Pustaka.

7. Yaitu sebanyak 107 kali dalam QS. al-Baqarah, 116 kali dalam QS. Ali Imran, 32 kali dalam QS. an-Nisa, 38 kali dalam QS. al-Maidah, 41 kali dalam QS. al-An’am, 6 kali dalam QS. al-A’raf, 35 kali dalam QS. al-Anfal, 67 kali dalan QS. at-Taubah, 20 kali dalam QS. Yunus, 5 kali dalam QS. Hud, 28 kali dalam QS. Yusuf, 1 kali dalam QS. ar-Ra’d, 10 kali dalam QS. Ibrahim, 29 kali dalam QS. an-Nahl, 3 kali dalam QS. al-Isra, 8 kali dalam QS. al-Kahfi, 2 kali dalam QS. Maryam, 5 kali dalam QS. Thaha, 1 kali dalam QS. al-Anbiya, 15 kali dalam QS. al-Hajj, 4 kali dalam QS. al-Mukminun, 37 kali dalam QS. an-Nur, 4 kali dalam QS. ar-Furqan, 7 kali dalam QS. an-Naml, 9 kali dalam QS. al-Qashash, 13 kali dalam QS. al-Ankabut, 9 kali dalam QS. ar-Rum, 3 kali dalam QS. Lukman, 1 kali dalam QS. as-Sajdah, 34 kali dalam QS. al-Ahzab, 2 kali dalam QS. as-Saba, 7 kali dalam QS. Fathir, 2 kali dalam QS. Yasin, 4 kali dalam QS. ash-Shaffat, 1 kali dalam QS. Shad, 24 kali dalam QS. az-Zumar, 18 kali dalam QS. Ghafir, 2 kali dalam QS. Fushshilat, 19 kali dalam QS. Syura, 1 kali dalam QS. az-Zukhruf, 1 kali dalam QS. ad-Dukhan, 6 kali dalam QS. al-Jastiyaah, 1 kali dalam QS. al-Ahqaf, 15 kali dalam QS. Muhammad, 21 kali dalam QS. al-Fath, 7 kali dalam QS. al-Hujurat, 1 kali dalam QS. at-Thur, 2 kali dalam QS. an-Najm, 8 kali dalam QS. al-Hadid, 18 kali dalam QS. al-Mujadalah, 9 kali dalam QS. al-Hasyr, 9 kali dalam QS. al-Mumtahanah, 1 kali dalam QS. ash-Shaf, 4 kali dalam QS. al-Jumu’ah, 6 kali dalam QS. al-Munafiqun, 9 kali dalam QS. at-Taghabun, 8 kali dalam QS. ath-Thalaq, 8 kali dalam QS. at-Tahrim, 2 kali dalam QS. al-Mulk, 3 kali dalam QS. Nuh, 1 kali dalam QS. al-Jinn, 1 kali dalam QS. al-Muzzammil, 3 kali dalam QS. al-Muddatstsir, 2 kali dalam QS. al-Insan, 1 kali dalam QS. an-Nazi’at, 1 kali dalam QS. at-Takwir, 1 kali dalam QS. al-Insyiqaq, 2 kali dalam QS. al-Buruj, 1 kali dalam QS. al-Ghasyiyah, 1 kali dalam QS. at-Tin, 1 kali dalam QS. al-Bayyinah, dan 1 kali dalam QS. al-Ikhlas.

8. Empat kali dalam QS. al-Baqarah, lima kali dalam QS. Ali Imran, dua kali dalam QS. an-Nisa, dua kali dalam QS. al-Maidah, empat kali dalam QS. al-An’am, lima kali dalam QS. al-A’raf, dua kali dalam QS. at-Taubah, satu kali dalam QS. Yunus, empat kali dalam QS. Hud, satu kali dalam QS. ar-Ra’d, satu kali dalam QS. Ibrahim, tiga kali dalam QS. al-Nahl, satu kali dalam QS. al-Kahfi, satu kali dalam QS. Thaha, empat kali dalam QS. al-Anbiya, satu kali dalam QS. al-Hajj, lima kali dalam QS. al-Mukminun, enam kali dalam al-Nahl, enam kali dalam QS. al-Qashash, satu kali dalam QS. Fathir, satu kali dalam QS. ash-Shaffat, satu kali dalam QS. Shad, satu kali dalam QS. az-Zumar, empat kali dalam QS. Ghafir, satu kali dalam QS. Fushshilat, dua kali dalam QS. az-Zukhruf, satu kali dalam QS. ad-Dukhan, satu kali dalam QS. Muhammad, satu kali dalam QS. ath-Thur, dua kali dalam QS. al-Hasyr, satu kali dalam QS. at-Taghabun, satu kali dalam QS. al-Muzzamil, dan satu kali dalam QS. an-Nas.

9. M. Fuad Abdul-Baqi, Mu’jam al-Mufahras, vol.14, hal.122, Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1991.

10. Ibid., hal.362-365.

11. Ibid., hal.459.

12.Lihat, ad-Durrul Manstur; al-Mustadrak; Sunan Thabarani; dan Sunan Baihaqi.

13. Berdasarkan pendapat ini, jumlah Asmaul Husna yang dapat ditemukan dalam al-Quran sebanyak 127, yaitu: al-Ilah, al-Ahad, al-Awwal, al-Akhir, al-A’la, al-Akram, al-A’lam, ar-Rahman ar-Rahimin, Ahkam al-Hakimin, Ahsan al-Khaliqin, Ahl at-Taqwa, Ahl al-Maghfirah, at-Tawwab, al-Jabbar, al-Jami’, al-Hakim, al-Halim, al-Hayy, al-Haq, al-Hamîd, al-Hasîb, al-Hafîzh, al-Khafi, al-Khabir, al-Khaliq, al-Khallaq, al-Khair, Khair al-Hakimin, Khair al-Makirin, Khair ar-Raziqin, Khair al-Fashilin, Khair al-Fatihin, Khair al-Ghafirin, Khair al-Waritsin, Kahir ar-Rahimin, Khair al-Munzilin, Dzu al-‘Arsy, Dzu ath-Thaul, Dzu al-Intiqam, Dzu al-Fadhl al-Azhim, Dzu ar-Rahmah, Dzu al-Quwwah, Dzu al-Jalal wa al-Ikram, Dzu al-Ma’arij, ar-Rahman, ar-Ra’uf, ar-Rabb, ar-Rafi’ ad-Darajat, ar-Razzaq, ar-Raqib, as-Sami’, as-Salam, as-Sari’ al-Hisab, Sari’ al-‘Iqab, asy-Syahid, asy-Syakir, asy-Syakur, Syadid al-‘Iqab, Syadid al-Mihal, ash-Shamad, azh-Zhahir, al-‘Alim, al-Aziz, al-‘Afwu, al-‘Aliy, al-‘Azhim, ‘Allam al-Ghuyub, ‘Alim al-Ghayb wa asy-Syahadah, al-Ghaniy, al-Ghafur, al-Ghalib, Ghafir adz-Dzam, al-Ghaffar, Faliq al-Ishbah, Faliq al-Habb wa an-Nawa, al-Fathir, al-Fattah, al-Qawiy, al-Quddus, al-Qayyum, al-Qahir, al-Qahhar, al-Qarib, al-Qâdir, al-Qadîr, Qabil at-Tawb, al-Qa’im ‘ala Kulli Nafs bima Kasabat, al-Kabir, al-Karim, al-Kafi, al-Lathif, al-Malik, al-Mu’min, al-Muhaimin, al-Mutakabbir, al-Mushawwir, al-Majîd, al-Mujib, al-Mubin, al-Mawla, al-Muhith, al-Muqit, al-Muta’al, al-Muhyi, al-Mutabayyin, al-Mutaqaddir, al-Musta’an, al-Mubdiy’, Malik al-Mulk, al-Nashîr, an-Nur, al-Wahhab, al-Wahid, al-Walîy, al-Wâliy, al-Wasiy’, al-Wakil, al-Wadud, al-Hadiy. Lihat, al-Mu’jam al-mufahras, vol.8, hal.361-363.

14. Ibid., hal.124.

15. Fuad Abdul-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras, hal.459, Istanbul.

16. M.H. Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, vol.8, hal.359, Muassasah al-Alami li al-Mathbu’at, Beirut, 1991.

17. QS. al-Isra [17]: 110.

18. Sayid Quthub, Fi Zhilal al-Quran, jil.5, juz.15, hal.73, Dar asy-Syuruq, Kairo, 1987.

19. Untuk pembahasan ini, lihat tafsir ayat bersangkutan dalam kitab-kitab tafsir klasik: Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil; Zamaksyari, al-Kasysyaf; Bagdadi, Tafsir al-Khazin; dan Nasafi, Madarik at-Tanzil wa Haqaiq at-Ta’wil, dan lain-lain.

20. Yaitu keterangan dari Ali ibn Abi Thalib ra, menurut sebuah penuturan; [tulisan Arab].
21. Ibid.
Read More......

AS Ultimatum Iran

Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Robert Gates, Senin (27/7) dalam konferensi pers bersama Menteri Perang Israel, Ehud Barak, berbicara tentang penentuan tenggat waktu oleh Presiden AS, Barack Obama, agar Iran menghentikan aksi pengayaan uraniumnya. Ia mengatakan bahwa akhir bulan September merupakan batas tenggat waktu yang ditentukan oleh Obama bagi jawaban Iran soal program nuklirnya. Amerika Serikat dan rezim Zionis Israel mengklaim bahwa Iran berupaya menutup-nutupi program nuklir militernya. Ehud Barak menekankan bahwa tidak ada opsi lain bagi Iran kecuali menghentikan program nuklirnya. Namun kini masyarakat internasional mengetahui bahwa klaim AS dan Israel soal program nuklir Iran hanya berlandaskan prasangka belaka. Hal ini mengingat Badan Energi Atom Internasional (IAE) telah memasang kamera-kamera pengawas di seluruh instalasi nuklir Iran.

Menurut para pengamat, tujuan kalim tersebut adalah dalam rangka mengesankan bahaya program nuklir Iran serta untuk mengalihkan perhatian masyarakat dunia terhadap gudang-gudang senjata nuklir rezim Zionis Israel. Klaim soal upaya Iran untuk menggapai senjata nuklir ini mengemuka di saat Israel merupakan satu-satunya negara pemilik senjata nuklir. Menariknya, rezim yang sudah terbukti watak agresornya ini justru tidak mendapat tekanan dari masyarakat internasional atas kepemilikan senjata destruksi massal. Apalagi Israel bukan anggota Traktat-Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Sikap Israel ini disinyalir oleh banyak pihak berkaitan erat dengan kegagalan upaya Israel untuk mengadu-domba negara-negara regional dan kekalahan pahitnya pada perang di Lebanon dan Gaza.

Majalah Time dalam edisi terbarunya menyebut penekanan Amerika Serikat terhadap program nuklir Iran sudah keterlaluan. Disebutkan pula bahwa Iran berhak mendayagunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai sesuai yang ditetapkan oleh NPT. Bahkan dalam laporan yang dirilis oleh komunitas intelejen AS pada tahun 2007 disebutkan pula bahwa program nuklir Iran tidak mengacu pada tujuan militer. Majalah beroplah besar di AS itu menambahkan, hanya PM Israel, Banyamin Netanyahu, dan kelompok noe-konservatif Gedung Putih saja yang sepakat bahwa Iran tengah berupaya memproduksi senjata destruksi massal.
Majalah Time menyimpulkan, untuk saat ini AS tidak perlu melakukan boikot nuklir dan Iran bukan ancaman nuklir paling menyeramkan bagi AS.

Berbeda dengan fakta, Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton, dalam pertemuannya dengan para pejabat Israel mengatakan, AS akan membentuk payung keamanan di kawasan jika Israel menggapai senjata nuklir. Tidak diragukan lagi bahwa klaim-klaim tersebut adalah dalam rangka mengelabuhi opini umum. Karena jika Israel benar-benar menginginkan keamanan di kawasan, maka langkah pertamanya adalah melucuti senjata nuklir rezim Zionis.
Read More......

Selasa, 28 Juli 2009

Sejarah Munculnya Syi’ah

a.Kapan Syi’ah Muncul?

Syi’ah sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s. (imam pertama kaum Syi’ah) sudah muncul sejak Rasulullah SAWW masih hidup. Hal ini dapat dibuktikan dengan realita-realita berikut ini:

Pertama, ketika Rasulullah SAWW mendapat perintah dari Allah SWT untuk mengajak keluarga terdekatnya masuk Islam, ia berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara kalian yang siap untuk mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan washiku setelah aku meninggal dunia”. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bersedia untuk mengikutinya kecuali Ali a.s. Sangat tidak masuk akal jika seorang pemimpin pergerakan --di hari pertama ia memulai langkah-langkahnya--memperkenalkan penggantinya setelah ia wafat kepada orang lain dan tidak memperkenalkanya kepada para pengikutnya yang setia. Atau ia mengangkat seseorang untuk menjadi penggantinya, akan tetapi, di sepanjang masa aktifnya pergerakan tersebut ia tidak memberikan tugas sedikit pun kepada penggantinya dan memperlakukannya sebagaimana orang biasa. Keberatan-keberatan di atas adalah bukti kuat bahwa Imam Ali a.s. setelah diperkenalkan sebagai pengganti dan washi Rasulullah SAWW di hari pertama dakwah, memiliki misi yang tidak berbeda dengan missi Rasulullah SAWW dan orang yang mengikutinya berarti ia juga mengikuti Rasulullah SAWW.

Kedua, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syi’ah, Rasulullah SAWW pernah bersabda bahwa Imam Ali a.s. terjaga dari setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku. Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan ia adalah orang yang paling tahu tentang Islam.

Ketiga, Imam Ali a.s. adalah sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah lakukannya. Seperti, ia pernah tidur di atas ranjang Rasulullah SAWW di malam peristiwa lailatul mabit ketika Rasulullah SAWW hendak berhijrah ke Madinah dan kepahlawannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar. Seandainya pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah dilakukannya, niscaya Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan.

Keempat, peristiwa Ghadir Khum adalah puncak keistimewaan yang dimiliki oleh Imam Ali a.s. Sebuah peristiwa --yang seandainya dapat direalisasikan sesuai dengan kehendak Rasulullah SAWW-- akan memberikan warna lain terhadap Islam.

Semua keistimewaan dan keistimewaan-keistimewaan lain yang diakui oleh Ahlussunnah bahwa semua itu hanya dimiliki oleh Imam Ali a.s. secara otomatis akan menjadikan sebagian pengikut Rasulullah SAWW yang memang mencintai kesempurnaan dan hakikat, akan mencintai Imam Ali a.s. dan lebih dari itu, akan menjadi pengikutnya. Dan tidak menutup kemungkinan bagi sebagian pengikutnya yang memang memendam rasa dengki di hati kepada Imam Ali a.s., untuk membencinya meskipun mereka melihat ia telah berjasa dalam mengembangkan dan menjaga Islam dari kesirnaan.
b.Mengapa Minoritas Syi’ah berpisah dari mayoritas Ahlussunnah?

Dengan melihat keistimewaan dan kedudukan yang dimiliki oleh Imam Ali a.s., para pengikutnya meyakini bahwa ia adalah satu-satunya sahabat yang berhak untuk menggantikan kedudukan Rasulullah SAWW setelah ia wafat. Keyakinan ini menjadi semakin mantap setelah peristiwa “kertas dan pena” yang terjadi beberapa hari sebelum ia meninggal dunia. Akan tetapi, kenyataan bericara lain. Ketika Ahlul Bayt a.s. dan para pengikut setia mereka sedang sibuk mengurusi jenazah Rasulullah SAWW untuk dikebumikan, mayoritas sahabat yang didalangi oleh sekelompok sahabat yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi dengan Islam, berkumpul di sebuah balai pertemuan yang bernama Saqifah Bani Sa’idah guna menentukan khalifah pengganti Rasulullah SAWW. Dan dengan cara dan metode keji, para dalang “permainan” ini menentukan Abu Bakar sebagai khalifah pertama muslimin.

Setelah para pengikut Imam Ali a.s. yang hanya segelintir selesai mengebumikan jenazah Rasulullah SAWW, mereka mendapat berita bahwa khalifah muslimin telah dipilih. Banyak pengikut Imam Ali a.s. seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Ammar Yasir dan lain-lain yang protes atas pemilihan tersebut dan menganggapnya tidak absah. Yang mereka dengar hanyalah alasan yang biasa dilontarkan oleh orang ingin membela diri. Mereka hanya berkata: “Kemaslahatan muslimin menuntut demikian”.

Protes minoritas inilah yang menyebabkan mereka memisahkan diri dari mayoritas masyarakat yang mendominasi arena politik kala itu. Dengan demikian, terwujudlah dua golongan di dalam tubuh masyarakat muslim yang baru ditinggal oleh pemimpinnya. Akan tetapi, pihak mayoritas yang tidak ingin realita itu diketahui oleh para musuh luar Islam, mereka mengeksposkan sebuah berita kepada masyarakat bahwa pihak minoritas itu adalah penentang pemerintahan yang resmi. Akibatnya, mereka dianggap sebagai musuh Islam.

Meskipun adanya tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas, kelompok minoritas ini masih tetap teguh memegang keyakinannya bahwa kepemimpinan adalah hak Imam Ali a.s. setelah Rasulullah SAWW meninggal dunia. Bukan hanya itu, dalam menghadapi segala problema kehidupan, mereka hanya merujuk kepada Imam Ali a.s. untuk memecahkannya, bukan kepada pemerintah. Meskipun demikian, berkenaan dengan problema-problema yang menyangkut kepentingan umum, mereka tetap bersedia untuk ikut andil memecahkannya. Banyak problema telah terjadi yang tidak dapat dipecahkan oleh para khalifah, dan Imam Ali a.s. tampil aktif dalam memecahkannya.
c. Penyelewengan pada Masa Tiga Khalifah

Pada masa kepemimpinan tiga khalifah pertama muslimin, banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan dilakukan oleh mereka dalam menjalankan pemerintahan yang tidak sesuai dengan rel Islam dan sunnah Rasulullah SAWW. Diamnya pemerintah atas pembunuhan yang telah dilakukan oleh Khalid bin Walid terhadap Malik bin Nuwairah yang berlanjut dengan pemerkosaan terhadap istrinya, pembagian harta baitul mal yang tidak merata sehingga menimbulkan perbedaan strata masyarakat kaya dan miskin, penghapusan dua jenis mut’ah yang sebelumnya pernah berlaku pada masa Rasulullah SAWW, penghapusan khumus dari orang-orang yang berhak menerimanya, pelarangan penulisan hadis-hadis Rasulullah SAWW, pelarangan mengucapkan hayya ‘alaa khairil ‘amal dalam azan, pemberian harta dan dukungan istimewa kepada Mu’awiyah sehingga ia dapat berkuasa di Syam dengan leluasa, dan lain sebagainya, semua itu adalah bukti jelas penyelewengan dan kepincangan yang terjadi pada masa tiga khalifah pertama. Semua itu jelas terjadi sehingga orang yang berpikiran jernih dan tidak dipengaruhi oleh fanatisme mazhab akan dapat menerimanya dengan menelaah buku-buku sejarah yang otentik.

Setelah Utsman bin Affan, Khalifat ketiga muslimin dibunuh oleh para “pemberontak” yang tidak rela dengan kinerjanya selama ia memegang tampuk khilafah, masyarakat dengan serta merta memilih Imam Ali a.s. secara aklamasi untuk memegang tampuk khilafah. Di antara Muhajirin yang pertama kali berbai’at dengannya adalah Thalhah dan Zubair. Hal ini terjadi pada tahun 5 H. Sangat disayangkan kekhilafahannya hanya berjalan sekitar 4 tahun 5 bulan, masa yang sangat sedikit untuk mengadakan sebuah perombakan dan reformasi mendasar.

Begitu ia menjadi khalifah, khotbah pertama yang dilontarkannya adalah sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa segala kesulitan yang pernah kalian alami di masa-masa pertama Rasulullah SAWW diutus menjadi nabi, sekarang akan kembali menimpa kalian. Sekarang orang-orang yang memiliki keahlian dan selama ini disingkirkan harus memiliki kedudukan yang layak dan orang-orang yang tidak becus harus disingkirkan dari kedudukan yang telah diberikan kepada mereka dengan tidak benar”.

Ia mengadakan perombakan-perombakan secara besar-besaran, baik di bidang birokrasi maupun bidang pembagian harta baitul mal. Ia mengganti semua gubernur daerah yang telah ditunjuk oleh para khalifah sebelumnya dengan orang-orang yang layak untuk memegang tampuk tersebut dan membagikan harta baitul mal dengan sama rata di antara masyarakat. Hal ini menyebabkan sebagian sahabat sakit hati. Tentunya mereka yang merasa dirugikan oleh metode Imam Ali a.s. tersebut. Hal itu dapat kita pahami dalam peristiwa-peristiwa berdarah berikut:

Faktor utama perang Jamal adalah rasa sakit hati Thalhah dan Zubair karena hak mereka --sebagai sahabat senior-- dari harta baitul mal merasa dikurangi dan disamaratakan dengan masyarakat umum. Dengan alasan ingin menziarahi Ka’bah, mereka masuk ke kota Makkah dan menemui A’isyah yang memiliki hubungan tidak baik dengan Imam Ali a.s. demi mengajaknya memberontak atas pemerintahan yang sah. Slogan yang mereka gembar-gemborkan untuk menarik perhatian opini umum adalah membalas dendam atas kematian Utsman. Padahal, ketika Utsman dikepung oleh para “pemberontak” yang ingin membunuhnya, mereka ada di Madinah dan tidak sedikit pun usaha yang tampak dari mereka untuk membelanya. A’isyah sendiri adalah orang pertama dan paling bersemangat mensupport masyarakat untuk membunuhnya. Ketika ia mendengar Utsman telah terbunuh, ia mencelanya dan merasa bahagia karena itu.

Faktor utama perang Shiffin adalah rasa tamak Mu’awiyah atas khilafah, karena ia telah disingkirkan oleh Imam Ali a.s. dari kursi kegubernuran Syam. Perang ini berlangsung selama 1,5 tahun yang telah memakan banyak korban tidak bersalah. Slogan Mu’awiyah di perang adalah membalas dendam atas kematian Utsman juga. Padahal, selama Utsman dalam kepungan para “pemberontak”, ia meminta bantuan dari Mua’wiyah yang bercokol di Syam demi membasmi mereka. Dengan satu pleton pasukan lengkap, Mu’awiyah berangkat dari Syam ke arah Madinah. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka sengaja memperlambat jalannya pasukan sehingga Utsman terbunuh. Setelah mendengar Utsman terbunuh, mereka kembali ke Syam dan kemudian bergerak kembali menuju ke Madinah dengan slogan “membalas dendam atas kematian Utsman”. Akhirnya pecahlah Shiffin.

Anehnya, ketika Imam Ali a.s. syahid dan Mu’awiyah berhasil memegang tampuk khilafah, mengapa ia tidak mendengung-dengungkan kembali slogan “membalas dendam atas kematian Utsman”?

Setelah perang Shiffin berhasil dipadamkan, perang Nahrawan berkecamuk. Faktornya adalah ketidakpuasan sebagian sahabat yang disulut oleh Mu’awiyah atas pemerintahan Imam Ali a.s. dan atas hasil perdamaian yang dipaksakan oleh mereka sendiri terhadap Imam Ali a.s. yang menghasilkan pencabutannya dari kursi khilafah dan penetapan Mu’awiyah sebagai khalifah muslimin. Tapi akhirnya, Imam Ali a.s. juga berhasil memadamkan api perang tersebut.

Tidak lama berselang dari peristiwa Nahrawan, Imam Ali a.s. syahid dengan kepala yang mengucurkan darah akibat tebasan pedang Abdurrahman bin Muljam di mihrab masjid Kufah.
d. Keberhasilan-keberhasilan Pemerintahan Imam Ali a.s.

Meskipun Imam Ali a.s. tidak berhasil memapankan kembali situasi masyarakat Islam yang sudah bobrok itu secara sempurna, akan tetapi, dalam tiga segi ia dapat dikatakan berhasil:

Pertama, dengan kehidupan sederhana yang dimilikinya, ia berhasil menunjukkan kepada masyarakat luas, khususnya para generasi baru, metode hidup Rasulullah SAWW yang sangat menarik dan pantas untuk diteladani. Hal ini berlainan sekali dengan kehidupan Mu’awiyah yang serba mewah. Ia a.s. tidak pernah mendahulukan kepentingan keluarganya atas kepentingan umum.

Kedua, dengan segala kesibukan dan problema sosial yang dihadapinya, ia masih sempat meninggalkan warisan segala jenis ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan masyarakat dan dapat dijadikan sebagai penunjuk jalan untuk mencapai tujuan hidup insani yang sebenarnya. Ia mewariskan sebelas ribu ungkapan-ungkapan pendek dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan rasional, sosial dan keagamaan. Ia adalah pencetus tata bahasa Arab dan orang pertama yang mengutarakan pembahasan-pembahasan filosofis yang belum pernah dikenal oleh para filosof kaliber kala itu. Dan ia juga orang pertama dalam Islam yang menggunakan argumentasi-argumentasi rasional dalam menetapkan sebuah pembahasan filosofis.

Ketiga, ia berhasil mendidik para pakar agama Islam yang dijadikan sumber rujukan dalam bidang ilmu ‘irfan oleh para ‘arif di masa sekarang, seperti Uwais Al-Qarani, Kumail bin Ziyad, Maitsam At-Tammar dan Rusyaid Al-Ĥajari.
e.Masa Sulit bagi Kaum Syi’ah

Setelah Imam Ali a.s. syahid di mihrab shalatnya, masyarakat waktu itu membai’at Imam Hasan a.s. untuk memegang tampuk khilafah. Setelah ia dibai’at, Mu’awiyah tidak tinggal diam. Ia malah mengirim pasukan yang berjumlah cukup besar ke Irak sebagai pusat pemerintahan Islam waktu itu untuk mengadakan peperangan dengan pemerintahan yang sah. Dengan segala tipu muslihat dan iming-iming harta yang melimpah, Mu’wiyah berhasil menipu para anggota pasukan Imam Hasan a.s. dan dengan teganya mereka meninggalkannya sendirian. Melihat kondisi yang tidak berpihak kepadanya dan dengan meneruskan perang Islam akan hancur, dengan terpaksa ia harus mengadakan perdamaian dengan Mu’awiyah. (Butir-butir perjanjian ini dapat dilihat di sejarah 14 ma’shum a.s.)

Setelah Mu’awiyah berhasil merebut khilafah dari tangan Imam Hasan a.s. pada tahun 40 H., --sebagaimana layaknya para pemeran politik kotor-- ia langsung menginjak-injak surat perdamaian yang telah ditandatanganinya. Dalam sebuah kesempatan ia pernah berkata: “Aku tidak berperang dengan kalian karena aku ingin menegakkan shalat dan puasa. Sesungguhnya aku hanya ingin berkuasa atas kalian, dan aku sekarang telah sampai kepada tujuanku”.

Dengan demikian, Mu’awiyah ingin menghidupkan kembali sistem kerajaan sebagai ganti dari sistem khilafah sebagai penerus kenabian. Hal ini diperkuat dengan diangkatnya Yazid, putranya sebagai putra mahkota dan penggantinya setelah ia mati.

Mua’wiyah tidak pernah memberikan kesempatan kepada para pengikut Syi’ah untuk bernafas dengan tenang. Setiap ada orang yang diketahui sebagai pengikut Syi’ah, ia akan langsung dibunuh di tempat. Bukan hanya itu, setiap orang yang melantunkan syair yang berisi pujian terhadap keluarga Ali a.s., ia akan dibunuh meskipun ia bukan pengikut Syi’ah. Tidak cukup sampai di sini saja, ia juga memerintahkan kepada para khotib shalat Jumat untuk melaknat dan mencerca Imam Ali a.s. Kebiasaan ini berlangsung hingga masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99-101 H.

Masa pemerintahan Mu’awiyah (selama 20 tahun) adalah masa tersulit bagi kaum Syi’ah di mana mereka tidak pernah memiliki sedikit pun kesempatan untuk bernafas.

Mayoritas pengikut Ahlussunnah menakwilkan semua pembunuhan yang telah dilakukan oleh para sahabat, khususnya Mu’awiyah itu dengan berasumsi bahwa mereka adalah sahabat Nabi SAWW dan semua perilaku mereka adalah ijtihad yang dilandasi oleh hadis-hadis yang telah mereka terima darinya. Oleh karena itu, semua perilkau mereka adalah benar dan diridhai oleh Allah SWT. Seandainya pun mereka salah dalam menentukan sikap dan perilaku, mereka akan tetap mendapatkan pahala berdasarkan ijtihad tang telah mereka lakukan.

Akan tetapi, Syi’ah tidak menerima asumsi di atas dengan alasan sebagai berikut:

Pertama, tidak masuk akal jika seorang pemimpin yang ingin menegakkan kebenaran, keadilan dan kebebasan dan mengajak orang-orang yang ada si sekitarnya untuk merealisasikan hal itu, setelah tujuan yang diinginkannya itu terwujudkan, ia merusak sendiri cita-citanya dengan cara memberikan kebebasan mutlak kepada para pengikutnya, dan segala kesalahan, perampasan hak orang lain dengan segala cara, serta tindakaan-tindakan kriminal yang mereka lakukan dimaafkan.

Kedua, hadis-hadis yang “menyucikan” para sahabat dan membenarkan semua perilaku non-manusiwi mereka berasal dari para sahabat sendiri. Dan sejarah membuktikan bahwa mereka tidak pernah memperhatikan hadis-hadis di atas. Mereka saling menuduh, membunuh, mencela dan melaknat. Dengan bukti di atas, keabsahan hadis-hadis di atas perlu diragukan.

Mu’awiyah menemui ajalnya pada tahun 60 H. dan Yazid, putranya menduduki kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam. Sejarah membuktikan bahwa Yazid adalah sosok manusia yang tidak memiliki kepribadian luhur sedikit pun. Kesenangannya adalah melampiaskan hawa nafsu dan segala keinginannya. Dengan latar belakangnya yang demikian “cemerlang”, tidak aneh jika di tahun pertama memerintah, ia tega membunuh Imam Husein a.s., para keluarga dan sahabatnya dengan dalih karena mereka enggan berbai’at dengannya. Setelah itu, ia menancapkan kepala para syahid tersebut di ujung tombak dan mengelilingkannya di kota-kota besar; Di tahun kedua memerintah, ia mengadakan pembunuhan besar-besaran di kota Madinah dan menghalalkan darah, harta dan harga diri penduduk Madinah selama tiga hari kepada para pasukannya; Di tahun ketiga memerintah, ia membakar Ka’bah, kiblat muslimin.

Setelah masa Yazid dengan segala kebrutalannya berlalu, Bani Marwan yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Bani Umaiyah menggantikan kedudukannya. Mereka pun tidak kalah kejam dan keji dari Yazid. Mereka berhasil berkuasa selama 70 tahun dan jumlah khalifah dari dinasti mereka adalah sebelas orang. Salah seorang dari mereka pernah ingin membuat sebuah kamar di atas Ka’bah dengan tujuan untuk melampiaskan hawa nafsunya di dalamnya ketika musim haji tiba.

Dengan melihat kelaliman yang dilakukan oleh para khalifah waktu itu, para pengikut Syi’ah makin kokoh dalam memegang keyakinan mereka. Di akhir-akhir masa kekuasaan Bani Umaiyah, mereka dapat menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa mereka masih memilliki eksistensi dan mampu untuk melawan para penguasa lalim. Di masa keimamahan Imam Muhammad Baqir a.s. dan belum 40 tahun berlalu dari terbunuhnya Imam Husein a.s., para pengikut Syi’ah yang berdomisili di berbagai negara dengan memanfaatkan kelemahan pemerintahan Bani Umaiyah karena tekanan-tekanan dari para pemberontak yang tidak puas dengan perilaku mereka, datang ke Madinah untuk belajar dari Imam Baqir a.s. Sebelum abad ke-1 H. usai, beberapa pembesar kabilah di Iran membangun kota Qom dan meresmikannya sebagai kota pemeluk Syi’ah. Beberapa kali para keturunan Imam Ali a.s. karena tekanan yang dilakukan oleh Bani Umaiyah atas mereka, mengadakan pemberontakan-pemberontakan melawan penguasa dan perlawanan mereka --meskipun mengalami kekalahan-- sempat mengancam keamanan pemerintah. Realita ini menunjukkan bahwa eksistensi Syi’ah belum sirna.

Dikarenakan kelaliman dinasti Bani Umaiyah yang sudah melampui batas, opini umum sangat membenci dan murka terhadap mereka. Setelah dinasti mereka runtuh dan penguasa terkahir mereka (Marwan ke-2 yang juga dikenal dengan sebutan Al-Himar, berkuasa dari tahun 127-132 H.) dibunuh, dua orang putranya melarikan diri bersama keluarganya. Mereka meminta suaka politik kepada berbagai negara, dan mereka enggan memberikan suaka politik kepada para pembunuh keluarga Rasulullah SAWW tersebut. Setelah mereka terlontang-lantung di gurun pasir yang panas, mayoritas mereka binasa karena kehausan dan kelaparan. Sebagian yang masih hidup pergi ke Yaman, dan kemudian dengan berpakaian compang-camping ala pengangkat barang di pasar-pasar mereka berhasil memasuki kota Makkah. Di Makkah pun mereka tidak berani menampakkan batang hidung, mungkin karena malu atau karena sebab yang lain.
f. Syi’ah Pada Abad Ke-2 H.

Di akhir-akhir sepertiga pertama abad ke-2 H., karena kelaliman dinasti Bani Umaiyah, muncul sebuah pemberontakan dari arah Khurasan, Iran dengan mengatasnamakan Ahlu Bayt a.s. Pemberontakan ini dipelopori oleh seorang militer berkebangsaan Iran yang bernama Abu Muslim Al-Marwazi. Dengan syiar ingin membalas dendam atas darah Ahlu Bayt a.s., ia memulai perlawanannya terhadap dinasti Bani Umaiyah. Banyak masyarakat yang tergiur dengan syiar tersebut sehingga mereka mendukung pemberontakannya. Akan tetapi, pemberontakan ini tidak mendapat dukungan dari Imam Shadiq a.s. Ketika Abu Muslim menawarkan kepadanya untuk dibai’at sebagai pemimpin umat, ia menolak seraya berkata: “Engkau bukanlah orangku dan sekarang bukan masaku untuk memberontak”.

Setelah mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Umaiyah, di hari-hari pertama berkuasa mereka memperlakukan para keturunan Imam Ali a.s. dengan baik, dan demi membalas dendam atas darah mereka yang telah dikucurkan, mereka membunuh semua keturunan Bani Umaiyah. Bahkan, mereka menggali kuburan-kuburan para penguasa Bani Umaiyah untuk dibakar jenazah mereka. Tidak lama berlalu, mereka mulai mengadakan penekanan-penekanan serius terhadap para keturunan Imam Ali a.s. dan para pengikut mereka serta orang-orang yang simpatik kepada mereka. Abu Hanifah pernah dipenjara dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah dicambuk olehnya. Imam Shadiq a.s. setelah disiksa dengan keji, dibunuh dengan racun dan para keturunan Imam Ali a.s. dibunuh atau dikubur hidup-hidup.

Kesimpulannya, kondisi para pengikut Syi’ah pada masa berkuasanya dinasti Bani Abasiah tidak jauh berbeda dengan kondisi mereka pada masa dinasti Bani Umaiyah.
g.Syi’ah Pada Abad Ke-3 H.

Dengan masuknya abad ke-3 H., para pengikut Syi’ah Imamiah mendapatkan kesempatan baru untuk mengembangkan missi mereka. Mereka dapat menikmati sedikit keleluasaan untuk mengembangkan dakwah di berbagai penjuru. Faktornya adalah dua hal berikut:

Pertama, banyaknya buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan masyarakat bersemangat untuk memperlajari ilmu-ilmu rasional dengan antusias. Di samping itu, peran Ma`mun Al-Abasi (195-218 H.) juga tidak patut dilupakan. Ia menganut mazhab Mu’tazilah yang sangat mendorong para pengikutnya untuk mengembangkan dan mempelajari argumentasi-argumentasi rasional. Oleh karena itu, ia memberikan kebebasan penuh kepada para pemikir dan teolog setiap agama untuk menyebarkan teologi dan keyakinan mereka masing-masing. Para pengikut Syi’ah tidak menyia-siakan kesempatan ini. Mereka mengembangkan jangkauan mazhab Syi’ah ke berbagai penjuru kota dan mengadakan dialog dengan para pemimpin agama lain demi mengenalkan keyakinan mazhab Syi’ah kepada khalayak ramai.

Kedua, Ma`mun Al-Abasi mengangkat Imam Ridha a.s. sebagai putra mahkota. Dengan ini, para keturunan Imam Ali a.s. dan sahabat mereka terjaga dari jamahan tangan para penguasa, dan menemukan ruang gerak yang relatif bebas.

Akan tetapi, kondisi ini tidak berlangsung lama. Karena setelah semua itu berlalu, politik kotor dinasti Bani Abasiyah mulai merongrong para keturunan Imam Ali a.s. dan pengikut mereka kembali. Khususnya pada masa Mutawakil Al-Abasi (232-247 H.). Atas perintahnya, kuburan Imam Husein a.s. di Karbala` diratakan dengan tanah.
h.Syi’ah Pada Abad ke-4 H.

Pada abad ke-4 H., dengan melemahnya kekuatan dinasti Bani Abasiyah dan kuatnya pengaruh para raja dinasti Alu Buyeh yang menganut mazhab Syi’ah di Baghdad (pusat khilafah Bani Abasiyah kala itu), terwujudlah sebuah kesempatan emas bagi para penganut Syi’ah untuk mengembangkan mazhab mereka dengan leluasa. Dengan demikian, --menurut pendapat para sejarawan--mayoritas penduduk jazirah Arab, seperti Hajar, Oman, dan Sha’dah, kota Tharablus, Nablus, Thabariah, Halab dan Harat menganut mazhab Syi’ah kecuali mereka yang berdomisili di kota-kota besar. Antara kota Bashrah sebagai pusat mazhab Ahlussunnah dan kota Kufah sebagai pusat mazhab Syi’ah selalu terjadi gesekan-gesekan antar mazhab. Tidak sampai di situ, penduduk kota Ahvaz dan Teluk Persia di Iran juga memeluk mazhab Syi’ah.

Di awal abad ini, seorang mubaligh yang bernama Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Hasan bin Ali bin Umar bin Ali bin Imam Husein a.s. yang dikenal dengan sebutan Nashir Uthrush (250-320 H.) melakukan aktifitas dakwahnya di Iran Utara dan berhasil menguasai Thabaristan. Lalu ia membentuk sebuah kerajaan di sana. Sebelumnya, Hasan bin Yazid Al-Alawi juga pernah berkuasa di daerah itu.

Pada abad ini juga tepatnya tahun 296-527 H., dinasti Fathimiyah yang menganut mazhab Syi’ah Isma’iliyah berhasil menguasai Mesir dan mendirikan kerajaan besar di sana.

Sangat sering terjadi gesekan-gesekan antar mazhab di kota-kota seperti Bahgdad, Bashrah dan Nisyabur antara mazhab Ahlusunnah dan Syi’ah, dan di mayoritas gesekan antar mazhab tersebut, Syi’ah berhasil menang dengan gemilang.
i. Syi’ah Pada Abad ke-5 hingga Abad ke-9 H.

Dari abad ke-5 hingga abad ke-9 H., sistematika perkembangan mazhab Syi’ah tidak jauh berbeda dengan sistematika perkembangannya pada abad ke-4. Perkembangannya selalu didukung oleh kekuatan pemerintah yang memang menganut mazhab Syi’ah. Di akhir abad ke-5 H., mazhab Syi’ah Isma’iliyah berkuasa di Iran selama kurang lebih satu setengah abad dan ia dapat menyebarkan ajaran-ajaran Syi’ah dengan leluasa. Dinasti Al-Mar’asyi bertahun-tahun berkuasa di Mazandaran, Iran. Setelah masa mereka berlalu, dinasti Syah Khudabandeh, silsilah kerajaan Mongol memeluk dan menyebarkan mazhab Syi’ah. Dan kemudian, raja-raja dari dinasti Aaq Quyunlu dan Qareh Quyunlu yang berkuasa di Tabriz dan kekuasaan mereka terbentang hingga ke daerah Kerman serta dinasti Fathimiyah di Mesir berhasil menyebarkan mazhab Syi’ah ke seluruh masyarakat ramai.

Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Setelah dinasti Fathimiyah mengalami kehancuran dan dinati Alu Ayyub berkuasa, para pengikut Syi’ah mulai terikat kembali dan mereka tidak bebas menyebarkan mazhab mereka. Banyak para tokoh Syi’ah yang dipenggal kepalanya pada masa itu. Seperti Syahid Awal dan seorang faqih kenamaan Syi’ah, Muhammad bin Muhammad Al-Makki dipenggal kepalanya pada tahun 786 H. di Damaskus karena tuduhan menganut mazhab Syi’ah, dan Syeikh Isyraq, Syihabuddin Sahruwardi dipenggal kepalanya di Halab karena tuduhan mengajarkan filsafat.
j. Syi’ah Pada Abad ke-10 hingga ke-11 H.

Pada tahun 906 H., Syah Isma’il Shafawi yang masih berusia 13 tahun, salah seorang keturunan Syeikh Shafi Al-Ardabili (seorang syeikh thariqah di mazhab Syi’ah dan meninggal pada tahun 153 H.), ingin mendirikan sebuah negara Syi’ah yang mandiri. Akhirnya, ia mengumpulkan para Darwisy pengikut kakeknya dan mengadakan pemberontakan dimulai dari daerah Ardabil dengan cara memberantas sistem kepemimpinan kabilah yang dominan kala itu dan membebaskan seluruh daerah Iran dari cengkraman dinasti Utsmaniyah dengan tujuan supaya Iran menjadi negara yang tunggal. Dan ia berhasil mewujudkan cita-citanya tersebut sehingga sebuah kerajaan Syi’ah Imamiah terbentuk dan berdaulat kala itu. Setelah ia meninggal dunia, kerajaannya diteruskan oleh putra-putranya. Mazhab Syi’ah kala itu memiliki legistimasi hukum yang sangat kuat sehingga semua organ pemerintah menganut mazhab Syi’ah. Pada masa kecemerlangan dinasti Shafawiyah di bawah pimpinan Syah Abbas yang Agung, kuantitas pengikut Syi’ah mencapai dua kali lipat penduduk Iran pada tahun 1384 H.
k. Syiah Pada Abad ke-12 hingga ke-14 H.

Di tiga abad terakhir ini, mazhab Syi’ah berkembang dengan sangat pesat, khususnya setelah ia menjadi mazhab resmi Iran setelah kemenangan Revolusi Islam. Begitu juga di Yaman dan Irak, mayoritas penduduknya memeluk mazhab Syi’ah. Dapat dikatakan bahwa di setiap negara yang penduduknya muslim, akan ditemukan para pemeluk Syi’ah. Di masa sekarang, diperkirakan bahwa pengikut Syi’ah di seluruh dunia berjumlah 300.000 .000 lebih.

Read More......

Agama, Islam, dan Syiah

Bismillahirrahmanirrahim


a.Agama

Tidak diragukan lagi bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan untuk hidup bermasyarakat dengan sesama jenisnya. Di dalam hidup bermasyarakat tersebut sangat sering terjadi aktifitas, seperti makan, minum, tidur, berbicara, berkorelasi dan lain sebagainya yang secara lahiriah berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Akan tetapi, pada hakikatnya semua aktifitas tersebut sangat berhubungan erat antara yang satu dengan lainnya. Semua aktifitas tersebut memiliki aturan dan ketentuan tertentu yang menyebabkan setiap aktifitas tidak layak dikerjakan kecuali dalam ruang lingkup yang sesuai dengan eksistensinya.

Apa yang diinginkan oleh manusia dengan semua aktifitas itu? Jawabannya sangat mudah dan jelas. Ia ingin memiliki sebuah kehidupan yang terhormat bagi dirinya dan --sebisa mungkin-- ia ingin menggapai semua tujuan hidup yang telah dicanangkannya. Untuk merealisasikan hal itu, ia akan selalu berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya demi menikmati hidup yang lebih lama.

Dari sinilah, supaya tidak terjadi gesekan-gesekan dengan masyarakatnya yang dapat memngundang kebinasaannya, ia akan selalu melaksanakan semua aktifitasnya sesuai dengan hukum dan undang-undang yang telah disepakati oleh masyarakatnya, baik undang-undang tersebut adalah buatan mereka sendiri atau hasil menyontek dari orang lain. Pokoknya, ia akan memilih sebuah metode khusus yang sesuai dengan keinginannya dalam menjalani kehidupan ini.

Undang-undang yang telah disepakati tersebut pasti dilandasi oleh satu keyakinan mendasar yang dijadikannya sebagai pegangan utama dalam hidupnya. Itu adalah pandangan dunianya. Orang yang meyakini bahwa dunia ini hanyalah materi dan manusia adalah makhluk materi belaka yang dengan ditiupkannya ruh ke dalam tubuhnya, ia akan hidup dan dengan dicabutnya kembali ruh tersebut, ia akan binasa, segala usahanya akan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan materi ini belaka. Dan sebaliknya, orang yang meyakini bahwa di samping kehidupan materi ini, manusia juga akan memiliki kehidupan kekal di alam akhirat dan ia akan mendapat balasan yang setimpal di sana, ia akan berusaha untuk memenuhi kehidupan materi ini dan menyelamatkan diri dari azab Ilahi di alam sana. Dengan kata lain, ia akan berusaha untuk memperoleh kebahagiaan di alam materi ini dan di alam kiamat kelak.

Gabungan antara pandangan dunia dan undang-undang yang sesuai dengan pandangan dunia ini disebut agama. Dan jika agama itu memiliki aliran-aliran cabang yang tentunya akan saling berbeda antara satu dengan lainnya, aliran tersebut dinamakan mazhab. Seperti Syi’ah dan Ahlussunnah dalam agama Islam dan Protestan dan Katolik dalam agama Kristen.

Dengan penjelasan global di atas dapat ditari sebuah kesimpulan bahwa setiap manusia --meskipun ia tidak meyakini adanya Tuhan-- pasti memiliki sebuah “agama” yang akan dipraktekkan dalam kehidupannya sehari-hari. Dan tentunya, orang yang memilih agama yang telah ditentukan oleh Allah SWT sebagai pencipta alam semesta, niscaya ia akan bahagia. Sementara orang yang memilih selain agama tersebut, akibatnya akan fatal, baik di dunia ini maupun di alam akhirat kelak.
b.Islam

Secara lenguistik, Islam adalah pasrah terhadap sesuatu. Arti teminologisnya tidak jauh berbeda dengan arti lenguistiknya. Dan Al Quran menamakan agama yang telah ditentukan oleh Allah dengan Islam, karena pokok ajarannya adalah kepasrahan manusia kepada segala ketentuan dan undang-undang yang telah ditentukan oleh-Nya. Konsekuensinya, ia tidak akan menyembah selain Tuhan yang Esa.
c. Syi’ah

Secara lenguistik, Syi’ah adalah pengikut. Seiring dengan bergulirnya masa, secara terminologis Syi’ah ­hanya dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini bahwa hanya Rasulullahlah SAWW yang berhak menentukan penerus risalah Islam sepeninggalnya. Dan dalam semua hal, mereka hanya mengikuti ajaran Ahlul Bayt a.s.
Read More......

Syiah di Indonesia: Antara Tantangan dan Masa Depan

Oleh: Muhsin Labib

Revolusi Islam Iran yang diletuskan oleh Imam Khomeini telah menjadi momentum historis bagi tersebarnya ajaran Ahlulbait ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Keberhasilan Imam Khomeini menumbangkan monarki Pahlevi yang menjadi anak emas Amerika di Timur Tengah telah membuat bangsa Indonesia terbelalak.

Para pemuda dan mahasiswa dengan antusiasme tinggi mempelajari buku-buku yang ditulis oleh cendekiawan revolusioner Iran, seperti Murtadha Muthahhari dan Ali Syariati. Sejak saat itulah terjadilah gelombang besar masyarakat Indonesia memasuki mazhab Ahlulbait. Maraknya antusiasme kepada mazhab Ahlulbait Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar dan paling berpengaruh di Asia Tenggara, tentu berpengaruh terhadap berkembangnya ajaran Ahlulbait di Malaysia dan kawasan Asia Tengggara.


Sejumlah peristiwa politik di era perang dingin dan represi rezim Orba terhadap gerakan-geraklan Islam di Indonesia serta kebijakan politik luar negeri Iran pada masa-masa awal terbentuknya Republik Islam sedikit banyak mempengaruhi grafik naik turun pertumbuhan ajaran Ahlulbait di Indonesia yang lebih banyak didominasi oleh pengaruh politik dan pemikiran ketimbang aspek-aspek lainnya.

Dalam perjalanan daur waktu, tak mengherankan, romantisme dan eufuria aksidental yang tidak berdiri di atas pandangan dunia kesyiahan itu pun secara determinan pun berkurang. Seiring dengan itu, ikon sekaliber Ali Syariati dan Murtadha Muthahhri pun redup karena relevansi dan kontekstualitas wacana menjadi tuntutan yang niscaya. Pada gilirannya, terjadi proses seleksi yang secara kuantitatif mungkin kurang optimistik. Ternyata beberapa tahun berikutnya, kelesuan juga masih terlihat dan stagnasi menjadi sebuah realitas yang tak terelakkan. Tentu, tak ada gading yang tak retak karena hanya gading buatan yang bertahan. Akibatnya, terjadi polarisasi yang kadang berujung pada konflik konyol dan mubazir yang sering kali diubah dengan kata 'mis-komunikasi'. Diperlukan sebuah penelitian dan verikasi yang serius untuk memastikannya.

Kini mazhab Ahlulbait di Indonesia dan Asia Tenggara telah menginjak usia dewasa. Tantangan-tantangannya makin kompleks, karena apapun yang terjadi di setiap titik di dunia, terutama di Timur Tengah, akan berdampak terhadap eksistensi dan masa depan serta proyeksi pengembangan ajaran ini di Indonesia.

Peristiwa 11 September, invasi Amerika ke Irak, naiknya Ahmadinejad sebagai Presiden Republik Islam dan kememangan Hezbollah atas Israel agresor adalah sebagian dari fenomena-fenomena besar yang mempengaruhi posisi dan grafik pertumbuhan ajaran Ahlulbait di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya.

Selain menghadapi tantangan-tantangan eksternal dan global diatas, komunitas-komunitas penganut Ahlulbait di Indonesia menghadapi setumpuk tantangan regional dan sejumlah problema internal, terutama dalam komunikasi dengan komunitas-komunitas yang menganut mazhab Ahlussunnah, Pemerintah dan bahkan antar sesama komunitas dan individu Syiah lainnya.

Beban dan tantangan itu terasa makin berat dan pada bagian-bagian tertentu menjadi kendala yang serius. Problema-problema utama yang menjadi tantangan dan hambatan dakwah mazhab Ahlubait antara lain sebagai berikut:

1. Rekayasa global yang dirancang oleh kekuatan-kekuatan imperalisme dan Zionisme demi menyudutkan Iran dan mazhab Ahlulbait dengan menyebarluaskan isu-isu negatif melalui buku, media massa dan internet dan merusak keutuhan dengan melakukan infiltrasi dan pembusukan secara sporadis dan konstan dalam aneka modus dan pola.

2. Krisis koordinasi antar tokoh, institusi dan komunitas pengikut Ahlubait sebagai akibat dari minimnya perencanaan dan proyeksi dakwah dan minimnya sejumlah syarat pendukung, seperti krisis SDM dalam berbagai bidang terutama politik, ekonomi dan pendidikan, krisis dana, krisis metode dakwah yang tidak baku dan komprehensif, menjangkitnya eksklusivisme yang menciptkan jarak menganga antara super minoritas Syiah dan mayoritas warga Indonesia dan individualisme yang menghambat terbentuknya sebuah struktur masyarakat Ahlulbait yang diakui secara informal dan formal.

3. Ketidakjelasan dan dis-koordinasi sentra-sentra internasional yang bergerak dalam dakwah mazhab Ahlulbait yang masing-masing menjalankan program yang kadang kala saling berbenturan, tidak relevan dan kontekstual, dan tidak berbasis pada budaya dan jatidiri lokal Indonesia.

4. Pola perekrutan juru dakwah yang tidak konsisten dan sistematis telah berdampak terhadap tidak meratanya kualitas juru dakwah yang semestinya mampu merealisasikan tujuan dakwah dalam tiga tahap; (1) Menepis kecurigaan masyarakat Sunni di Indonesia terhadap ajaran Ahlulbait sebagai mazhab yang menyimpang atau mazhab yang bermuatan politis yang bercita-cita membangun sebuah imperium Syiah di dunia, sebagaimana secara konsisten disebarkan oleh musuh-musuh Islam; (2) Menghadirkan ajaran Ahlulbait dalam kemasan subtansi tanpa simbol sebagai khazanah pemikiran altrenatif di pusat-pusat pendidikan ternama dan media massa; (3) Menghadirkan mazhab Syiah sebagai jalan yang lurus karena berbasis pada al-Quran dan ajaran-ajaran Nabi yang disampaikan melalui Ahlulbait; (4) membentuk unit-unit berkualitas dalam komunitas Syiah di Indonesia yang diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dan berskala luas dalam berbagai bidang, terutama pengentasan kemiskinan dan pendidikan serta peningkatan moral bagi bangsa Indonesia.

Itulah contoh-contoh dari problema yang bila tidak diselesaikan dalam waktu yang cepat akan menghambat dakwah Ahlulbait, bahkan membuatnya stagnan dan berakhir dengan kegagalan.

Untungnya, berdasarkan pengamatan kami, problema-problema tersebut dapat dengan mudah dan segera diatasi bila hal-hal sebagai berikut kita lakukan:

1. Membentuk tim khusus yang terdiri dari sejumlah orang yang mumpuni dalam berbagai bidang, a) bidang penataan organisasi dan perencanaan serta evaluasi; b) bidang pendanaan dan auditing; c) bidang perekrutan SDM dan pemetaan sasaran dakwah yang meliputi latar belakang penidikan, profesi dan letak geografis serta strata ekonomi bahkan kesegaran intelejensi dan attitud dan aptitude; d) bidang pengkaderan dan kajian strategis pembuatan modul dakwah yang komprhensif dan bebas dari aspek-aspek sensitif secara teologis, strategis dan metodologis; f) bidang koordinasi dan rekonsiliasi yang akan bertugas mengevaluasi dan meminimalkan konflik-konflik internal yang telah berlangsung cukup lama dan kontraproduktif dengan langkah-langkah terencana dan objektif.

2. Mengubah orientasi dakwah dari pendekatan personal emosional dan historikal menjadi pendekatan sistemik dan intelektual agar pola hubungan masyarakat dengan pusat-pusat kegiatan dan tokohnya tidak lagi bersifat hirarkis dan paternalistik yang mengancam kreativitas, kristisisme dan inovasi.

3. Membangun sentra-sentra pendidikan, riset dan sosial di berbagai kota besar agar dapat di dijadikan sebagai bukti nyata manfaat dari eksistensi komunitas super-minoritas Syiah di Indonesia, dengan merekrut SDM lokal yang berkualifikasi dan berdedikasi sebagai pengelolanya.

4. Memanfaatkan era informasi dan tekonologi informasi melalui sentra media baik cetak maupun elektronik yang dikelola oleh SDM yang berkualitas dan berdedikasi.

5. Membentuk tim khusus untuk menjalin dan membina hubungan inter-personal dengan tokoh-tokoh agama dan politik baik di tingkat internasional maupun nasional demi membentangkan jalan dan mengurangi tekanan politik dari dalam maupun global.

Tentu, solusi-solusi diatas masih sangat mungkin untuk disempurnakan dan bahkan direvisi bergantung pada tingkat urgensi dan prioritasnya.

Sambil menghitung hari, bila solusi-solusi itu tak kunjung muncul, maka kegamangan akan terus menjadi endemi dan epidemi yang meranggas setiap dada pengikut AB di Indonesia. Mungkinkah? (Tulisan ini hanya pendapat pribadi).[]

Penulis: Alumnus Hauzah Ilmiah Qom, Republik Islam Iran. Kandidat Doktor Filsafat Islam di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini aktif sebagai dosen ICAS-Paramadina Jakarta, Menejer Penerbit AL-HUDA, Direktur Penerbit CITRA, Anggota Dewan Redaksi majalah dwimingguan ADIL

Read More......